MAKALAH AGAMA
FUNGSI DAN PERAN ISLAM
DALAM
KEHIDUPAN
Oleh :
Agam Fatih Herlambang
Ajeng Rahayu Pamungkas
Andhika Bagus Wiyogo
Badriawan
Bambang Setiawan
Bumisih Mawati
Candra Setiawan
Defira Novalia Capella
AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH
2012 / 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………....
|
i
|
DAFTAR
ISI…………………………………………………………….......
|
ii
|
BAB
I FUNGSI
BERAGAMA.................................................................
|
1
|
A. Fungsi Agama Kepada Manusia...............................................
|
2
|
B. Fungsi Sosial Agama................................................................
|
2
|
C. Fungsi Integratif Agama............................................................
|
2
|
D. Fungsi Disintegratif...................................................................
|
2
|
BAB II HIKMAH BERAGAMA
|
3
|
BAB
III SIKAP HIDUP BERAGAMA......................................................
|
6
|
A.
Eksklusivisme
...........................................................................
|
7
|
B.
Inklusivisme
..............................................................................
|
9
|
C.
Pluralisme
atau Pararelisme.....................................................
|
9
|
D.
Eklektivisme........................................................................
|
10
|
E.
Univesalisme
.........................................................................
|
11
|
BAB IV AGAMA DALAM
KEHIDUPAN
|
11
|
BAB V TOLERANSI BERAGAMA
|
13
|
A. Toleransi Sebagai Nilai dan Norma
|
15
|
B. Toleran dan Prinsip Hidup
|
15
|
C. Perkembangan Duni Masa Kini dan
Mendatang
|
16
|
D. Posisi Umat Islam di Dunia
|
16
|
Daftar
Pustaka
|
iii
|
Fungsi Agama bagi Kehidupan
Ada beberapa alasan tentang
mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
- Karena
agama merupakan sumber moral
- Karena
agama merupakan petunjuk kebenaran
- Karena
agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
- Karena
agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun
di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke
dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa
sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu
pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang
mensyukurinya.
Disinilah letak fungsi agama
dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan
menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada
Manusia
Dari segi pragmatisme,
seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi
kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup.
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh
agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau
pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif
atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative
factor).
Pembahasan tentang fungsi
agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif
dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai
faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu
ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini
dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung
bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya
konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif
Agama.
Meskipun agama memiliki
peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara
eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan
peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan
menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari
begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga
seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
HIKMAH AGAMA
Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka. Karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah" diterangkan kedalam berbagai pengertian dan konsep, diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa, untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk menekankan segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandungkemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]
Jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah "muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama, yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan
ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama. Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
Ali atas makna muhkam itu: [7]
Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik
dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri.
Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi) dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy
dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai
skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep
fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami,
termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur
dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
ftthrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan agama
ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agamaIslam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par
excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari
penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia
mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental. Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang
menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam.
Sikap hidup Beragama
Komarudin
Hidayat menyebutkan adanya lima tipologi sikap keberagamaan, yakni
“eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme”.
Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang
lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah
kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan
senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.
Sekalipun
ada perbedaan tipe-tipe teologis beragama dengan para penstudi agama lain,
seperti Panikkar, yang menyebutkan tiga tipologi : eksklusif, inklusif,
dan paralelisme, tetapi secara esensial penyebutan-penyebutan tipologis
itu mengandung pada makna dan pengertian yang sama. Oleh karena itu, kita akan
membahas tipologi-tipologi beragama itu.
Download daftar isi
1. Eksklusivisme
Sikap
eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar hanyalah agama
yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya
dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini merupakan pandangan yang dominan
dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Tuntutan kebenaran
yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas.
Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang berlawanan
tidak bisa benar.
Bagi
agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu-satu
jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”
(Yohanes 14:6). Juga, dalam ayat lain (Kisah Para Rasul 4,12) disebutkan, “Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di
bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang
olehnya kita dapat diselamatkan”.
Menurut
Budhy Munawar Rachman, untuk contoh Islam, sekalipun tidak ada semacam kuasa
gereja dalam agama Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa
menyeluruh seperti contoh di atas, banyak penafsir sepanjang masa yang
menyempitkan Islam pada pandangan-pandangan eksklusif. Beberapa ayat yang biasa
dipakai sebagai ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain :
Hari
ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut
kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan
Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu
((Q.S.5:3).
Barangsiapa menerima agama
selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari
akhirat ia termasuk golongan yang rugi (Q.S.3:85).
Dalam
jargon hidup politik modern, bersikap hidup seperti itu adalah beragama yang
eksklusif atau sikap hidup yang kafir. Yang tentu saja mengabaikan sikap hidup
yang pluralistik yaitu suatu sikap hidup yang benar, dan oleh sebab itu, juga
sikap hidup yang beriman.
Pada
sisi yang lain, sikap ini menimbulkan kesukaran-kesukaran.
Pertama,
sikap ini membawa bahaya yang nyata akan intoleransi, kesombongan, dan
penghinaan bagi yang lain.
Kedua,
sikap ini pun mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi
kebenaran yang seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis dari
kenaifan epistimologis.
2. Inklusivisme
Sikap
inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat
kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini
masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap
inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah bentuk implisit
agama kita.
Sikap inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan
kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu
mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat menjadi konkrit dan pandangan anda dapat
menjadi universal. Tetapi, pada sisi lain, sikap inklusivitas pun membawa
beberapa kesulitan.
Ia menimbulkan bahaya kesombongan, karena
hanya andalah yang mempunyai privilese atas penglihatan yang mencakup
semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan bagi yang lain tempat yang
harus mereka ambil dalam alam semesta.
3. Pluralisme Atau
Paralelisme
Dalam
pandangan Panikkar dan Budhy Munawar Rachman, masing-masing menyebutkan istilah
pluralisme dan paralelisme. Sikap teologis paralelisme
adalah bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya : “agama-agama lain
adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”;
agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran
yang sama sah”; atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah
kebenaran”.
Paradigma
itu percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu,
klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau
yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak
demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.
Sikap
paralelistis, pada sisi yang lain, menjanjikan lebih banyak kemungkinan untuk
suatu hipotesis kerja awal. Sikap ini sekaligus membawa amanat akan
pengharapan dan kesabaran; pengharapan bahwa kita akan berjumpa pada
akhirnya, dan kesabaran karena sementara ini masih harus menanggung
perbedaan-perbedaan kita.
4. Eklektivisme
Eklektivisme
adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan
berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga
format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersipat eklektik.
5. Universalisme
Universalisme
beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja,
karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.
Menurut
Raimundo Panikkar, jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang
nyata maupun dalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora
dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang berbeda.
Hikmah
hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan.
Agama dalam
kehidupan manusia
Pengertian
Agama secara UmumBahasa sanksekerta : a (tidak), gama (kacau)Bahasa barat :
religion yang berakar pada bahasa latin yakni- relegere (membaca ulang)-
religere (mengikat erat-erat)(pengikat kehidupan manusia yang diwariskan secara
berulang dari generasi ke generasi)Soedjadmoko- Suatu jalan menuju keselamatan.Suatu
pedoman dan penilaian atas perbuatan manusia.Suatu petunjuk wahyu yang membawa
manusia menuju suatu kebenaran yang mutlak.
Faktor
yang membawa keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat: 1. Cinta kasih
diwujudkan dalam perbuatan,2. Cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata,3. Cinta
kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran dan etikad baik terhadap orang
lain,4. Memberi kesempatan yang wajar kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa
yang diperoleh secara halal, 5. Didepan umum ataupun pribadi, ia menjalankan
kehidupan bermoral, tidak berbuat sesuatu yang melukai perasaan orang lain, 6.
Didepan umum ataupun pribadi, memiliki pandangan yang sama, yang bersifat
membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan
tersebut, hidup harmonis, tidak bertengkar karena perbedaan pendapat.
Motivasi
dan Tujuan Hidup Beragama1. Penghormatan pada diri sendiri dan orang lain
disetiap agama, ajaran tentang penghormatan pada diri sendiri dan orag lain
telah diatur.2. Jalan menuju kehidupan yang layak agama tidak mengajarkan
kepada kaumnya untuk lemah, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrowi.
Toleransi Beragama
Dalam beragama atau
Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, God, Yahweh,
Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki
oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi
peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan
rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang
Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada
adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain,
itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau
tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kembali kepada Fitrah
Beragama .
Toleransi/toleran dalam
pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi
pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan
mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar
dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan
beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan
eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia
ini.
Dalam kaitan ini Tuhan telah
mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, dalam
Q.S. 42 A. 13: “Dia telah
mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh,
dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah-belah dalam urusan agama.”
Pesan lainnya terkandung
dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan
berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan universal ini
merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya
dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun
sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu
memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah
menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan
berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Jangan Berpecah
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Sedangkan elemen lainnya
adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada standar-standar normatif
yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan
yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Toleransi sebagai
Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian
yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam beragama,
dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena
toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang
berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki
nilai itu.
Hidup beragama yang toleran
sekaligus menjadi sikap dasar dalam kehidupan sosial masyarakat, yang selalu
disosialisasikan dalam tingkat rumah tangga, merupakan sosialisasi primer, dan
sosialisasi sekunder terjadi sesudah sosialisasi primer itu terjadi. Dan
sesungguhnya sosialisasi primer itu merupakan dasar bagi sosialisasi sekunder.
Jika yang berperan dalam sosialisasi primer adalah seluruh keluarga dalam rumah
tangga, maka yang berperan dalam sosialisasi sekunder adalah luar rumah tangga,
yang dalam kehidupan sekarang ini adalah arena pembelajaran sekolah.
Toleran dan Prinsip
Hidup
Berinteraksi dengan jiwa
toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup
(beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan
prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas
tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata
berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita,
sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap
sikap dan keyakinannya.
Perkembangan Agama
Dunia Kini dan Mendatang
Jika umat manusia dengan
agamanya, kemudian mengembangkannya, itu sudah menjadi fitrah manusia. Sebab
semua orang beragama merasa wajib untuk mengembangkan dan menyampaikan
keyakinannya kepada siapapun di dunia ini. Di sinilah letaknya sebuah
toleransi, siapapun umat beragama bebas untuk mendakwahkan agamanya dan
siapapun manusia bebas menerima maupun menolak ajakan itu. Rambu-rambu untuk
itu dalam tatanan hidup antarbangsa dan agama telah dimiliki oleh umat dan
bangsa sedunia. Sikap toleran akan dapat meminimalkan segala konsekuensi
negatif penyebaran agama.
Posisi Umat Islam
Bangsa Indonesia
Dalam menegakkan kehidupan
keagamaan yang toleran dan damai di muka bumi ini peranan Muslim Asia dimotori
oleh Indonesia, mestinya dapat lebih mewarnai Dunia Islam kontemporer. Berbagai
syarat untuk itu ada dalam lingkungan wilayah ini baik berupa bahasa, budaya
dan adat kebiasaan yang dimiliki oleh Muslim di wilayah ini.
Pengembangan dan pembentukan
diri bagi Muslim di wilayah ini tidak lagi harus tergantung pada wilayah tempat
asal mula munculnya agama Islam (Timur Tengah). Kemampuan untuk berkembang
membentuk diri untuk tampil sebagai umat beragama yang toleran dapat ditunjang
oleh kemampuan Muslim di wilayah ini, sejalan dengan perkembangan peradaban
umat manusia yang semakin maju yang dapat diakses oleh setiap Muslim di Asia
Tenggara, khususnya Indonesia.
Untuk menuju ke arah itu,
kita sebagai masyarakat/kelompok sosial ini harus menanamkan visi pada diri
kita masing-masing, kiranya dengan aktivitas yang selama ini kita tekuni
sebagai masyarakat terus bergerak ke arah kehidupan beragama atau kegiatan
lainnya selalu mengedepankan sikap toleran. Ini maknanya, lingkungan kita ini
harus sangup menjadi wahana pengkaderan bangsa dan umat yang orientasinya
adalah terciptanya sikap toleran dalam kehidupan beragama, berbangsa dan
bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
• ^ Website
Resmi Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (Muhammadiyah Disaster
Management Center)
• Djurdi, S. (2010). 1 abad
Muhammadiyah. Penerbit Buku Kompas. ISBN
979-709-498-7.
• Alfian (1989). Muhammadiyah: the
political behavior of a Muslim modernist organization under Dutch colonialism.
Gadjah Mada University Press. ISBN
979-420-118-9.
• DAR! Mizan (2007). Komik
Muhammadiyah. DAR! Mizan. ISBN
979-752-808-1.
• (Sumber:
http://arifprasetyo.com/blog/resep-kaya-menurut-al-qur%E2%80%99an.html)
• http://alimmahdi.webs.com/Quran/AlBaqarah216.swf